TUNA NETRA
TUGAS
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus
yang dibina oleh Ibu Umi Safiul
Ummah, M.Pd
Oleh
Asih Mulkiatunnisa (130153600741)
Ilma Diniyarul Fitri (130153600719)
Masita Turrahmah (130153600725)
Renita Dwi Astuti (130153600718)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
MARET 2014
A.
Pengertian Tunanetra
Secara
etimologi kata tunanetra berasal dari tuna yang berarti rusak,netra berarti
mata atau penglihatan. Jadi secara umum tunanetra berarti rusak penglihatan.
Tunanetra berarti buta,tetapi buta belum tentu sama sekali gelap atau sama
sekali tidak dapat melihat. Ada anak buta yang sama sekali tidak ada
penglihatan,anak semacam ini biasanya disebut buta total. Disamping buta
total,masih ada juga anak yang mempunyai sisa penglihatan tetapi tidak dapat
dipergunakan untuk membaca dan menulis huruf biasa. Istilah buta ini mencakup
pengertian yang sama dengan istilah tunanetra atau istilah asingnya blind.
Untuk memberikan pengertian yang tepat tentang buta itu, perlu dirumuskan
pengertian sebagai berikut: Menurut Slamet Riadi adalah “Seseorang dikatakan
buta jika ia tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk pendidikan “(Slamet
Riadi , 1984, hal. 23). Menurut Pertuni tunanetra adalah mereka yang tidak
memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki
sisah penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya untuk membaca
tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meski pun dibantu
dengan kacamata (kurang awas).
Pertuni
(persatuan tunanetra indonesia) yang berkedudukan di jakarta. Sala satu wadah
institusi ormas, yang mengakfokasi hak- hak tunanetra dalam kehidupan dan
penghidupan dalam masyarakat. Baik dari segi hukum, HAM (hak asasi manusia) dan
pendidikan.
Pengertian secara khusus, bahwa orang yang kehilangan penglihatan sedemikian
rupa, sehingga seseorang itu sukar atau tidak mungkin dapat mengikuti
pendidikan dengan metode yang biasanya dipergunakan disekolah biasa. Sebenarnya
anak buta dalam pendidikan tidak saja mempergunakan metode khusus, melainkan
juga alat-alat bantu khusus, yang digunakan untuk membaca dan menulis
diantaranya adalah : huruf braille, riglet dan pen.
Tunanetra
menurut Soedjadi S. (tth:23): Berdasarkan pandangan paedagogis, mereka ini
kurang atau sama sekali tidak dapat menggunakan penglihatannya dalam
melaksanakan tugas yang diberikan dalam pendidikan.
Anak yang
mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak yang rusak
penglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan masih mempunyai pengaruh
yang merugikan bagi anak yang bersangkutan (Scholl, 1986:p.29). Pengertian ini
mencakup anak yang memiliki sisa penglihatan dan yang buta.
Tunanetra
adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan/tidak berfungsinya
indera penglihatan.
Tunanetra memiliki
keterbatasan dalam penglihatan antara lain:
a.
Tidak dapat melihat
gerakan tangan pada jarak kurang dari 1 (satu) meter.
b.
Ketajaman penglihatan
20/200 kaki yaitu ketajaman yang mampu melihat suatu benda pada
jarak 20 kaki.
c.
Bidang penglihatannya
tidak lebih luas dari 20º. (Heward & Orlansky, 1988:p.296)
Berdasarkan
definisi World Health Organization (WHO), seseorang dikatakan Low Vision
apabila:
a. Memiliki kelainan fungsi penglihatan meskipun telah
dilakukan pengobatan, misalnya operasi dan atau koreksi refraksi standart
(kacamata atau lensa).
b. Mempunyai ketajaman penglihatan kurang dari 6/18
sampai dapat menerima persepsi cahaya.
c. Luas penglihatan kurang dari 10 derajat dari titik
fiksasi.
d. Secara potensial masih dapat menggunakan
penglihatannya untuk perencanaan dan atau pelaksanaan suatu tugas.
Tunanetra
berasal dari kata tuna dan netra, yang masing-masing berarti rusak/tidak
memiliki dan mata/penglihatan, jadi tunanetra berarti rusak penglihatan.
Sedangkan pengertian tunanetra dilihat dari kacamata pendidikan : menurut
Barraga N (1983:25) adalah “Individu yang mengalami gangguan fungsi penglihatan
untuk mengikuti belajar dan mencapai prestasi secara maksimal”.
Anak
dikatakan tuna netra apabila mereka kehilangan daya lihatnya sedemikian rupa
sehingga tidak dapat menggunakan fasilitas pendidikan anak awas atau normal
pada umumnya sehingga untuk mengembangkan potensinya diperlukan layanan
pendidikan khusus. Tuna netra di bagi menjadi dua yaitu :
1. Kurang awas (low vision), yaitu seseorang dikatakan
kurang awas bila ia masih memiliki sisa penglihatan sedemikian rupa sehingga
masih dapat sedikit melihat atau masih bisa membedakan gelap dan terang.
2. Buta (blind), yaitu seseorang
dikatakan butaa apabila ia sudah tidak memiliki sisa penglihatan sehinga tidak
dapat membedakan gelap dan terang.
Daniel
P Hallahan dan James M Kauffman memberikan batasan mengenai tunanetra sebagai
berikut:
For educational
purposes, the blind person is one whose sight is so severaly impaired that he
or she must be taught to read by Braille or by aural methods (audiotapes and
records). The partially sighted person can read print even though magnifying
devices or large-print books may be needed .
Pengertian
tersebut dapat diartikan bahwa untuk kepentingan pendidikan, anak tunanetra
yang mengalami kelainan yang sangat berat harus diajar membaca dengan
menggunakan huruf Braille atau dengan metode pendengaran seperti menggunakan
audiotape atau alat perekam lain, sedangkan anak yang mengalami gangguan
penglihatan sebagian baru dapat membaca tulisan apabila dibantu dengan
menggunakan alat pembesar atau buku yang hurufnya diperbesar.
Menurut
White Confrence pengertian tunanetra adalah sebagai berikut.
1.
Seseorang dikatakan
buta baik total maupun sebagian (low vision); dari ke dua matanya sehingga
tidak memungkinkan lagi baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan
kacamata.
2.
Seseorang dikatakan
buta untuk pendidikan bila mempunyai ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang
pada bagian mata yang terbaik setelah mendapat perbaikan yang diperlukan atau
mempunyai ketajaman penglihatan lebih dari 20/200 tetapi mempunyai keterbatasan
dalam lantang pandangnya sehingga luas daerah penglihatannya membentuk sudut
tidak lebih dari 20 derajat.
B. Klasifikasi Anak Tunanetra
Klasifikasi yang
dialami oleh anak tunanetra, antara lain :
1.
Menurut Lowenfeld,
(1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu terjadinya
ketunanetraan, yaitu :
a.
Tunanetra sebelum dan
sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman
penglihatan.
b.
Tunanetra setelah
lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman
visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
c.
Tunanetra pada usia
sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan
meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
d.
Tunanetra pada usia
dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan
latihan-latihan penyesuaian diri.
e.
Tunanetra dalam usia
lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
f.
Tunanetra akibat
bawaan (partial sight bawaan).
2.
Klasifikasi anak
tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu :
a.
Tunanetra ringan (defective
vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan
akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu
melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
b.
Tunanetra setengah
berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya
penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan
biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
c.
Tunanetra berat (totally
blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
3.
Menurut WHO,
klasifikasi didasarkan pada pemeriksaan klinis, yaitu :
a.
Tunanetra yang
memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang
penglihatan kurang dari 20 derajat.
b.
Tunanetra yang masih
memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat
lebih baik melalui perbaikan.
4.
Menurut Hathaway,
klasifikasi didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :
a.
Anak yang memiliki
ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh pelayanan medik.
b.
Anak yang mempunyai
penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli mata dapat
bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang khusus.
5.
Kirk (1962:p.214)
mengutip klasifikasi ketunanetraan, yaitu :
a.
Anak yang buta total
atau masih memiliki persepsi cahaya sampai dengan 2/2000, ia tidak dapat
melihat gerak tangan pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
b.
Anak yang buta dengan
ketajaman penglihatan sampai dengan 5/200, ia tidak dapat menghitung jari pada
jarak 3 kaki di depan wajahnya.
c.
Anak yang masih dapat
diharapkan untuk berjalan sendiri, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan
sampai dengan 10/200, ia tidak dapat membaca huruf-huruf besar seperti judul
berita pada koran.
d.
Anak yang mampu
membaca huruf-huruf besar pada koran, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan
sampai dengan 20/200, akan tetapi ia tidak dapat diharapkan untuk membaca huruf
14 point atau tipe yang lebih kecil.
e.
Anak yang memiliki
penglihatan pada batas ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih, akan tetapi ia
tidak memiliki penglihatan cukup untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang
memerlukan penglihatan dan anak ini tidak dapat membaca huruf 10 point.
6.
Menurut Howard dan
Orlansky,
Klasifikasididasarkan
pada kelainan-kelainan yang terjadi pada mata, yaitu :
Kelainan ini disebabkan karena
adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak
terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki
dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain :
a.
Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak
terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau
objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia
digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.
b.
Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak
terfokus dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek
dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan
kacamata koreksi dengan lensa positif.
c.
Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang
disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada
bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak
terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita
astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.
C. Penyebab
Terjadinya Tunanetra
Penyebab
tunanetra pada faktor internal dan eksternal :
a.
Faktor internal
Faktor internal
merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul dari dalam diri individu, yang
sering disebut juga faktor keturunan. Faktor ini kemungkinan besar terjadi pada
perkawinan antarkeluarga dekat dan perkawinan antartunanetra.
b.
Faktor eksternal
Faktor eksternal yang
dimaksudkan disini merupakan penyebab ketunanetraan yang berasal dari luar diri
individu. Antara lain sebagai berikut:
·
Penyakit rubella dan syphilis
Merupakan suatu
penyakit yang disebabkan oleh virus yang sering berbahaya dan sulit di diagnosa
secara klinis.
·
Glaukoma
Merupakan suatu
kondisi dimana terjadi tekanan yang berlebihan pada bola mata. Hal ini terjadi
karena struktur bola mata yang tidak sempurna pada saat pembentukannya dalam
kandungan. Kondisi ini ditandai dengan pembesaran pada bola mata, kornea
menjadi keruh, banyak mengeluarkan air mata, dan merasa silau.
·
Retinopati diabetes
Suatu kondisi yang
disebabkan oleh adanya gangguan dalam suplai/aliran darah pada retina. Kondisi
ini disebabkan oleh adanya penyakit diabetes.
·
Retinoblastoma
Merupakan tumor ganas
yang terjadi pada retina dan sering ditemukan pada anak-anak.
·
Kekurangan vitamin A
Vitamin A berperan
dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi. Kekurangan vitamin A akan menyebabkan
kerusakan pada matanya, yaitu kerusakan pada sensitivitas retina terhadap
cahaya (rabun senja) dan terjadi kekeringan pada konjungtiva bulbi yang
terdapat pada celah kelopak mata, disertai pengerasan dan penebalan pada
epitel.
·
Terkena zat kimia
Zat-zat kimia juga
dapat merusak apabila penggunaannya tidak hati-hati.
·
Kecelakaan
Benturan keras
mengenai syaraf mata atau tekanan yang keras terhadap bola mata, dapat
menyebabkan gangguan penglihatan, bahkan ketunanetraan.
D. Pencegahan
Terjadinya Tunanetra
a.
Pencegahan secara Medis
·
Melakukan pemeriksaan genetika kepada dokter ahli
sebelum menikah sehingga akan diketahui apakah gen mereka dapat meneyebabkan
kecacatan atau tidak pada anak yang kelak akan dilahirkan.
·
Menghindari penggunaan terapi radioaktif bagi ibu
hamil, terutama pada usia kandungan 3 bulan pertama dan 3 bulan ketiga.
·
Pencegahan terhadap virus menular seperti virus
rubella, syphilis, dan sebagainya.
·
Pemberian vitamin A dosis tinggi untuk mencegah
kekurangan vitamin A .
·
Melakukan pemeriksaan dini kepada dokter mata, apabila
terjadi keluhan pada mata secara serius.
b.
Pencegahan secara sosial
Ditinjau
dari segi sosial, upaya pencegahan terjadinya tunanetra dapat dilakukan melalui
berbagai kegiatan antara lain sebagai berikut:
·
Memberikan penyuluhan mengenai penyebab terjadinya
tunanetra.
·
Kegiatan yang dilakukan oleh Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas).
·
Meningkatkan perlindungan keselamatan kerja para buruh
di perusahaan-perusahaan, terutama pada perusahaan yang banyak menggunakan
bahan kimia.
c.
Pencegahan secara Edukatif
Dalam
upaya pencegahan tunanetra secara edukatif, keluarga dan sekolah
memegang peranan penting yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
·
Peranan keluarga
Keluarga memegang
peran penting dalam menanamkan kebiasaan hidup sehat, terutama dalam penggunaan
dan pemeliharaan kesehatan penglihatannya.
·
Peranan sekolah
Sekolah sebagai
wahana bagi anak untuk memperoleh berbagai pengetahuan, turut berperan dalam
upaya mencegah terjadinya ketunanetraan pada para siswa.
E. KARAKTERISTIK
ANAK TUNANETRA
1.
Karakteristik Anak Tunanetra
dalam Aspek Akademis
Menurut Tillman &
Obsorg (1969), ada beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan anak awas
yaitu:
a.
Anak-anak tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman
khusus seperti anak awas, tetapi pengalaman-pengalaman tersebut kurang
terintegrasikan.
b.
Anak-anak tunanetra mendapat angka yang hampir sama
dengan anak awas dalam hal berhitung, informasi, dan kosa kata, tetapi kurang
baik dalam hal pemahaman (comprehension) dan persamaan.
c.
Kosa kata anak-anak tunanetra cenderung merupakan
kata-kata yang definitif, sedangkan anak awas menggunakan arti yang lebih luas.
Contoh, bagi anak tunanetra kata malam berarti gelap atau hitam, sedangkan bagi
anak awas, kata malam mempunyai makna cukup luas, seperti malam penuh bintang
atau malam yang indah dengan sinar purnama.
2.
Karakteristik Anak Tunanetra
dalam Aspek Pribadi dan Sosial
Beberapa literatur
mengemukakan karakteristik yang mungkin terjadi pada anak tunanetra yang
tergolong buta sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari kebutaannya
adalah :
a.
Curiga pada orang lain
Keterbatasan
rangsangan visual/penglihatan, menyebabkan anak tunanetra kurang mampu untuk
berorientasi pada lingkungannya sehingga kemampuan mobilitasnya pun terganggu.
b.
Mudah tersinggung
Pengalaman
sehari-hari yang sering menimbulkan rasa kecewa dapat mempengaruhi tunanetra
sehingga tekanan-tekanan suara tertentu atau singgungan fisik yang tidak
sengaja dari orang lain dapat menyinggung perasaannya.
c.
Ketergantungan pada orang lain
Sifat ketergantungan
pada orang lain mungkin saja terjadi pada tunanetra. Hal tersebut mungkin saja
terjadi karena ia belum berusaha sepenuhnya dalam mengatasi kesulitannya
sehingga selalu mengharapkan pertolongan orang lain.
3.
Karakteristik Anak Tunanetra
dalam Aspek Fisik/sensoris dan Motorik/perilaku
a.
Aspek fisik dan sensoris
Keadaan
fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya. Perbedaan nyata
diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya.
Gejala
tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya:
1) Mata juling
2) Sering berkedip
3) Menyipitkan mata
4) (kelopak) mata merah
5) Mata infeksi
6) Gerakan mata tak beraturan dan cepat
7) Mata selalu berair (mengeluarkan air mata)
8) Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
b.
Aspek Motorik/Perilaku
1)
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak
sebagai petunjuk dalam mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara
dini: Menggosok mata secara berlebihan
a. Menutup
atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke
depan.
b. Sukar
membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan
mata.
c. Berkedip
lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu
pekerjaan.
d. Membawa
bukunya ke dekat mata.
e. Tidak
dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
f. Menyipitkan
mata atau mengkerutkan dahi.
g. Tidak
tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang
memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca.
h. Janggal
dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata.
i.
Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan
penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh.
2) Penjelasan lainnya berdasarkan adanya beberapa
keluhan seperti:
(a)
Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal.
(b) Banyak mengeluh tentang ketidakmampuan dalam melihat.
(c) Merasa pusing atau sakit kepala.
(d) Kabur atau penglihatan ganda.
Disamping
karakteristik diatas, berikut ini akan dikemukakan aktivitas-aktivitas motorik
yang sering ditunjukkan oleh anak kurang lihat (low vision).
a.
Selalu melihat suatu benda dengan memfokuskan pada
titik-titik benda. Dengan mengerutkan dahi, ia mencoba melihat benda yang ada
di sekitarnya.
b.
Memiringkan kepala apabila akan memulai melakukan
suatu pekerjaan. Hal itu dilakukan untuk mencoba menyesuaikan cahaya yang ada
dan daya lihatnya.
c.
Sisa penglihatannya mampu mengikuti gerak benda.
Apabila ada benda bergerak di depannya, ia akan mengikuti arah gerak benda
tersebut sampai benda tersebut tidak tampak lagi.
F.
Dampak Ketunanetraan bagi
Keluarga, Masyarakat, dan Penyelenggara Pendidikan
Yang paling berat dan
pertama kali merasakan dampak ketunanetraan anak adalah keluarganya, terutama
orang tua, kehadiran anak tunanetra akan melahirkan berbagai reaksi dari orang
tua. Bagaimana reaksi orang tua tersebut dalam menerima kehadiran anaknya yang
tunanetra akan sangat berpengaruh terhadap keseluruhan perkembangan
pribadi-pribadi anak di kemudian hari. Reaksi orang tua terhadap ketunanetraan
anaknya pada umumnya dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
(a) Penerimaan
secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya.
(b) Penyangkalan
terhadap ketunanetraan anak.
(c) Overprotection atau
perlindungan yang berlebihan.
(d) Penolakan
secara tertutup.
(e) Penolakan
secara terbuka.
Mengenai sikap guru
sebagai penyelenggara pendidikan, hasil penelitian Murplhy (Kirtley, 1975)
menunjukan bahwa pada umumnya para guru (guru umum dan guru PLB) cenderung
mengesampingkan anak tunanetra. Namun diketahui pula bahwa para guru khusus
(guru PLB) cenderung lebih bersikap positif terhadap anak tunanetra. Hasil
penelitian ini juga dapat dimaklumi karena para guru biasa umumnya tidak pernah
berhubungan dengan anak tunanetra, khususnya di kelas. Sementara itu hasil
penelitian Sunaryo dan Sunardi memiliki sikap yang cukup positif terhadap anak
luar biasa pada umumnya, termasuk tunanetra.
G.
Layanan Pendidikan Bagi Anak
Tunanetra
Layanan
pendidikan bagi anak tunanetra pada dasarnya sama dengan layanan pendidikan
bagi anak awas hanya dalam teknik penyampaiannya disesuaikan dengan kemampuan
dan ketidak mampuan atau karakteristik anak tunanetra.
1. Jenis
Layanan
Ditinjau dari segi
jenisnya, layanan pendidikan bagi anak tunanetra meliputi layanan umum dan
layanan khusus.
ð Layanan umum
Latihan
yang diberikan terhadap anak tunanetra, umumnya meliputi hal-hal berikut:
v Keterampilan
v Kesenian
v Olahraga
ð Layanan khusus/layanan rehabilitasi
Layanan
khusus /rehabilitasi yang diberikan terhadap anak tunanetra, antara lain
sebagai berikut:
F latihan membaca dan
menulis braille
F latihan penggunaan
tongkat
F latihan orientasi dan
mobilitas
F latihan
visual/fungsional penglihatan
2. Tempat
/Sistem Layanan
ð Tempat khusus/ sistem segregasi
Tempat
pendidikan melalui sistem segregasi bagi anak tunanetra adalah berikut ini:
a) Sekolah
khusus
Sekolah khusus yang
konvensional adalah Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra (SLB bagian A).
Sekolah ini memiliki kurikulum tersendiri yang dikhususkan bagi anak tunanetra.
b) Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB yang dimaksudkan
disini berbeda dengan SDLB yang ada dalam kurikulum 1994. SDLB yang dimaksud
dalam kurikulum tersebut, diperuntukkan bagi satu jenis kelainan, yaitu anak
tunanetra saja, sedangkan dalam konsep SDLB ini merupakan suatu sekolah pada
tingkat dasar yang menampung berbagai jenis kelainan, seperti tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa.
c) Kelas
jauh/kelas kunjung
Kelas jauh/kelas
kunjung adalah kelas yang dibentuk untuk memberikan layanan pendidikan bagi
anak luar biasa termasuk anak tunanetra yang bertempat tinggal jauh dari
SLB/SDLB.
ð Sekolah biasa/sistem integrasi.
Penyelenggaraan
sistem pendidikan terpadu memerlukan seorang ahli ke-PLB-an yang disebut Guru
Pembimbing Khusus (GPK),dan ruang bimbingan khusus untuk memberikan layanan
khusus bagi anak tunanetra.
Melalui
sistem integrasi/terpadu, anak tunanetra belajar bersama-sama dengan anak
normal (awas) dengan memperoleh hak kewajiban yang sederajat. Sekolah
dasar atau sekolah biasa lainnya yang menerima anak tunanetra (anak luar biasa
pada umumnya) sebagai siswanya, disebut sekolah terpadu. Apabila disekolah
tersebut tidak terdapat bagi anak luar biasa maka secara otomatis sebutan
sekolah terpadu tidak berlaku lagi (kembali disebut sekolah dasar atau sekolah
biasa lainnya). Melalui sistem pendidikan terpadu, anak tunanetra akan
memperoleh keuntungan berikut:
a)
Memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengenyam pendidikan bersama-sama dengan anak awas lainnya.
b)
Kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempersiapkan
diri dalam menghadapi lingkungan dengan membiasakan diri berinteraksi dengan
teman-temannya yang awas.
Bentuk
keterpaduan dalam sistem pendidikan integrasi, sangat bervariasi. Kirk &
Gallagher (1989:61-62) mengemukakan bentuk-bentuk keterpaduan/integrasi yang
meliputi:
v Bentuk
kelas biasa dengan guru konsultasi (regular classroom with consultant teacher)
v Kelas
biasa dengan guru kunjungan (itinerant teacher)
v Kelas
biasa dengan ruang sumber (resource room) atau ruang bimbingan khusus
v Kelas
khusus (special class)
3. Ciri
Khas Layanan
Hal-hal yang khas
dalam pendidikan anak tunanetra adalah berikut ini:
1) Penempatan
anak tunanetra
Dalam
menempatkan anak tunanetra, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
v Anak
tunanetra ditempatkan didepan, agar dapat mendengarkan penjelasan guru dengan
jelas.
v Memberikan
kesempatan kepada anak tunanetra untuk memiliki tempat duduk yang sesuai dengan
kemampuan penglihatannya
v Anak
tunanetra hendaknya ditempatkan berdekatan dengan anak yang relatif cerdas,
agar terjadi proses saling membantu.
v Tidak
diperkenankan dua anak tunanetra duduk berdekatan, agar lebih terintegrasi
dengan anak awas.
2) Alat
peraga yang digunakan hendaknya memiliki warna yang kontras. Pada alat peraga
bahan cetakan, antara tulisan dan warna dasar kertas harus kontras.
3) Ruang
belajar bagi anak tunanetra terutama anak low vision cukup
mendapatkan cahaya/penerangan.
DAFTAR RUJUKAN
Efendi, Mohammad. 2005. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
file:///E:/alamat/CERPENIK%20%20Pengertian%20Tunanetra.htm
file:///E:/alamat/widiriyanti%20%20KARAKTERISTIK%20DAN%20PENDIDIKAN%20ANAK%20TUNANETRA.htm
http://herubox.blogspot.com/2012/07/definisi-karakteristik-dan-klasifikasi.html
www.eprints.uny.ac.id
www.file.upi.ac.id